Radar Lampung - Selasa, 8 Oktober 2013
Per Kasus, Fee Susi Tur Andayani Rp1 M
JAKARTA
– Pasca penangkapan Ketua MK nonaktif Akil Mochtar terkait suap Pilkada
Gunungmas, Kalteng, dan Lebak, Banten, KPK kebanjiran laporan serupa
dari berbagai daerah. ’’Setelah kami menangkap Akil, KPK kebanjiran
laporan mengenai kasus suap pilkada,’’ kata Ketua KPK Abraham Samad usai
menghadiri Pelatihan Bersama Peningkatan Kapasitas Penegakan Hukum
dalam Penanganan Tindak Pidana Korupsi di Hotel Imperial Aryaduta
kemarin.
Meski demikian, Samad memastikan KPK tidak bisa
menindaklanjuti laporan yang intinya meminta penganuliran keputusan MK.
’’Umumnya, setiap pelapor ingin hasil keputusan MK dianulir. Kalau itu
bukan kewenangan kami. Ranah kami adalah mengusut kasus korupsinya,’’
ungkap mantan aktivis antikorupsi di Makassar ini.
Salah satu
laporan pengaduan pilkada yang mengemuka adalah adanya transaksi antara
Ketua MK nonaktif Akil Mochtar dan pengacara Susi Tur Andayani pada
Pilkada Lampung Selatan 2010.
Wakil Ketua Pusat
Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) Agus Santoso mencatat
ada aliran uang dari rekening pengacara Lampung, Susi Tur Andayani, ke
rekening PT Bank Central Asia milik Ketua MK nonaktif Akil Mochtar
senilai Rp250 juta, tepatnya pada 5 Agustus 2010.
’’Tapi, yang
jelas itu merupakan data intelijen. Kita tidak bisa membenarkan atau
membantahnya,’’ kata Agus kepada Radar Lampung di Jakarta kemarin.
Dia beralasan, dalam Undang-Undang PPATK, semua data transaksi
keuangan tidak boleh diumumkan ke publik. Boleh diserahkan ke aparat
penegak hukum, itu juga untuk kepentingan proses penyelidikan maupun
penyidikan. ’’Tidak boleh dipublikasikan karena perintah
undang-undang,’’ ujarnya.
Menurut Agus, semua data yang
terkait dengan laporan hasil analisis (LHA) transaksi mencurigakan Akil
Mochtar sudah diserahkan semua ke KPK. Namun, dia tidak menyebutkan
berapa banyak jumlah laporan transaksi rekening Akil Mochtar yang
disampaikan ke komisi antirasuah itu.
Dikabarkan, dalam
laporan transaksi 2010, mengalir uang transfer dari rekening Susi ke
rekening PT Bank Central Asia nomor 171043XXXX milik Akil senilai Rp250
juta pada 5 Agustus 2010.
Transaksi ini dilakukan sehari setelah
panel hakim konstitusi tempat Akil menjadi anggota menolak gugatan
pembatalan hasil Pilkada Lamsel yang dimenangi pasangan Rycko Menoza
S.Z.P. dan Eki Setyanto. Susi merupakan kuasa hukum pasangan ini.
Ketika itu, empat pasangan calon bupati-wakil bupati Lamsel menolak
hasil pilkada yang digelar 30 Juni 2010. Keempatnya, yakni Wendy
Melfa-Antoni Imam, Fadhil Hakim Yohansyah-Andi Aziz, Taufik Hidayat-Agus
Revolusi, dan Andi Warisno-A. Ben Bella. Hanya pasangan Zainudin
Hasan-Ikang Fawzi yang tidak ikut menggugat.
’’Saya orang
yang kuat pegang janji. Kalau siap menang dan siap kalah. Jadi, saya
tidak termasuk yang menggugat,’’ kata Zainudin melalui BlackBerry
Messenger-nya kemarin.
Diketahui, dalam konferensi pers di Hotel
Bukit Randu, Bandarlampung, 5 Juli 2010, Wendy mengatakan, penolakan
karena tahapan pilkada dinilai tidak inkonstitusional. Pasalnya, sejak
awal tahapan, pasangan Rycko-Eki diduga kuat melakukan politik tertentu
secara masif di semua tempat dalam wilayah kabupaten itu.
Menurut
dia, empat pasangan ini tidak mempersoalkan kekalahan yang dialami.
Namun, mereka mengaku ingin membangun moral politik yang baik. Jika
tidak diselesaikan melalui jalur hukum yang benar, akan menjadi preseden
buruk dalam pembangunan demokrasi.
’’Karena itu, kami menggugat
ke MK dalam kurun waktu tiga hari setelah penetapan oleh KPU,’’ ujar
Wendy yang kala itu merupakan calon bupati incumbent.
Dia
mengatakan bahwa gugatan tidak hanya untuk masalah sengketa penghitungan
suara. Yang akan didaftarkan ke MK adalah dugaan politik uang yang
dilakukan secara masif itu.
Fadhil Hakim Yhs juga menyesalkan
tindakan panitia pengawas (panwas) yang terkesan membiarkan kecurangan
itu. Dia juga menyayangkan indikasi politik uang yang terjadi pada
Pilkada Lamsel.
’’Bahkan pada masa tenang hingga hari
pencoblosan, pasangan nomor urut satu terus membagikan sembako. Kami
punya karungan barang bukti dan telah didokumentasikan dengan baik,’’
ungkap Fadhil dalam konferensi pers kala itu.
Putusan Dinilai AnehSementara
pada 4 Agustus 2010, MK mengeluarkan tiga putusan terkait Pilkada
Lamsel. Yaitu Nomor 76/PHPU.D-VIII/2010 dari pemohon Wendy Melfa-Antoni
Imam, Nomor 78/PHPU.D-VIII/2010 dari pemohon Fadhil Hakim Yohansyah-Andi
Azis, dan Nomor 80/PHPU.D-VIII/2010 dari pemohon Andi Warisno-A. Ben
Bella.
Dalam amar putusan ketiganya menyatakan, MK menolak
eksepsi termohon, mengabulkan eksepsi pihak terkait untuk sebagian, dan
objek permohonan pemohon tidak tepat menurut hukum. Dalam pokok perkara
ini, permohonan ketiga pasangan ini tidak dapat diterima. Dalam tiga
putusan itu, Akil menjadi salah satu hakimnya.
Keputusan itu pun
dinilai aneh. Di mana, gugatan di MK seharusnya terkait rekapitulasi
penghitungan suara. Tapi, yang digugat justru penetapan calon
bupati-wakil bupati terpilih, yakni Rycko-Eki. Biasanya setelah membaca
gugatan dalam persidangan, pemohon diberi kesempatan 1 x 24 jam untuk
memperbaiki gugatan.
Jadi putusan MK seharusnya tidak sampai
salah objek sehingga tidak mengalami error in objecto (NO) atau
kekeliruan mengenai objek yang menjadi tujuan dari perbuatan pidana.
”Kalau
mau dibilang, dari dulu juga keputusan sengketa Lamsel sangat janggal
karena alasan hakim menolak gugatan atau NO. Itu keputusan KPU yang jadi
objek sengketa salah. Yakni keputusan hasil rekapitulasi, bukan SK
penetapan pemenang,” kata kuasa hukum Wendy dalam perkara di MK itu,
yakni Dedy Mawardi, kemarin.
Padahal, lanjut Dedy, dalam kasus
yang lain ada keputusan MK yang menerima gugatan dengan objek sengketa
SK (surat keputusan) hasil rekapitulasi. Yang menurut Akil Mochtar, kata
dia, dalam putusan itu menyebutkan bahwa SK hasil rekapitulasi
merupakan satu bagian dari SK penetapan pemenang.
’’Intinya, ada
dua kasus yang menjadi objeknya sama. Yakni SK hasil rekapitulasi, tapi
keputusan dua kasus itu berbeda. Yang jadi ketua majelis hakim MK yang
menyidangkan sengketa Pilkada Lamsel itu ya Akil Mochtar. PH (penasihat
hukum) termohon 2 (Rycko-Eki) itu Susi Tur Andayani,’’ katanya.
Dedy
melanjutkan, ia setuju harus ada lembaga independen yang melakukan
eksaminasi (ujian atau pemeriksaan) terhadap putusan MK yang terkait
dengan posisi Akil dan Susi.
’’Khususnya sengketa Pilkada Lamsel
dan Bandarlampung. Waktu dulu (2010) ada tercium bau-bau suap itu, tapi
susah dibuktikan dan baru sekarang setelah majalah merilis hasil
transaksi PPAT yang menyebutkan ada aliran dana ke Akil dari Susi sehari
setelah putusan Lamsel. Terbukti kecurigaan saya dulu,’’ ungkapnya.
Menurut
dia, Susi yang menjadi PH Rycko-Eki dalam Pilkada Lamsel dan Herman
H.n.-Tobroni Harun dalam Pilkada Bandarlampung 2010. ’’Dari dulu, saya
dan teman-teman sudah tahu kalau Susi dan Akil itu sangat dekat. Itu
yang pertama. Kedua, putusan untuk kedua sengketa itu, khususnya yang di
Lamsel, sangat janggal. Yang mesti didalami oleh KPK itu kan hasil
PPATK tentang adanya transfer Rp250 juta ke nomor rekening Akil,’’
ujarnya.
Jatah Susi Rp1 M
Tersangka
kasus dugaan suap penanganan sengketa Pilkada Lebak, Banten, Tubagus
Chaeri Wardana alias Wawan, mulai membela diri.
Melalui kuasa
hukumnya, Efran Helmi, Wawan mengklaim uang Rp1 miliar merupakan jatah
advokat Susi Tur Andayani yang menjadi pengacara sengketa Pilkada
Serang, Banten.
Karena itu, Efran menyatakan, uang Rp1 miliar
yang diserahkan kepada Susi bukanlah suap, tapi honornya sebagai
advokat. "Jadi uang Rp1 miliar adalah untuk lawyer fee yang dibayar Pak
Wawan kepada lawyer ya ke Bu Susi. Iya, sengketa Pilkada Serang," kata
Efran di KPK, Jakarta, kemarin.
Namun, ia tidak mengetahui
apakah setelah uang itu diberikan ada kongkalikong antara Susi dengan
pihak MK. "Apa yang dilakukan Pak Wawan menyerahkan uang ke Susi dalam
rangka pembayaran honorarium pengacara. Kalau kemudian dari Susi ada apa
dengan MK, kita tidak tahu. Atau dengan Pak Akil, kita tidak tahu,"
ujar Efran.
Menurut Efran, Wawan tidak ada kaitannya dengan
Lebak. Karena itu, dia heran kenapa kliennya bisa ditetapkan sebagai
tersangka dugaan suap penanganan sengketa Pilkada Lebak. "Nah, makanya
itu kita tidak tahu. Karena kita belum bisa menduga. Bisa jadi sementara
(Wawan, Red) dianggap sebagai pemberi," katanya.
Meski
begitu, Efran memastikan kliennya akan bersikap kooperatif dengan KPK.
"Tapi, nanti Pak Wawan akan terbuka ke KPK. Karena alasan dan buktinya
ada, termasuk soal penerimaan itu," ungkapnya.
Seperti
diketahui, dalam kasus suap Pilkada Lebak, KPK menetapkan Akil dan
seseorang berinisial STA sebagai tersangka penerima suap. Inisial STA
itu mengacu pada seorang pengacara bernama Susi Tur Andayani.
Sedangkan tersangka pemberi suapnya adalah TCW. Inisial itu merujuk
pada nama Tubagus Chaeri Wardana, adik Gubernur Banten Ratu Atut. Barang
buktinya adalah uang pecahan Rp100 ribu dan Rp50 ribu dalam travel bag.
Jumlahnya Rp1 miliar. (kyd/dna/jpnn/p3/c2/ary)